BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Uslub Al-Qur’an
Kata
uslub adalah bahasa Arab yang apabila diterjemahkan artinya jalan, cara, sistem atau metode. Adapun
pengertiannya uslub dalam bahasa Arab, ialah makna yang terdapat dalam
suatu bentuk susunan lafaz-lafaz kalimat dalam Al-Qur’an. Uslub Al-Qur’an merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung
atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat
Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab Uslub Al-Qur’an dianggap sebagai penuntun Al-Qur’an
yang merupakan jawaban bagi
kehidupan kita.
Uslub Al-Qur’an mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa
(ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi).
Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology Uslub Al-Qur’an
terkait dengan epistemologinya,
epistemology Uslub Al-Qur’an terkait dengan aksiologinya, dan begitulah
seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistimologi Uslub Al-Qur’an, maka kita harus mengaitkannya dengan ontology,
dan aksiologi. Tetapi dalam tulisan ini, penulis hanya membahas tentang
Uslub Al-Qur’an dalam perspektif balagatul Qur’an.
B.
Uslub Al-Qur’an Dalam Perspektik Balagatul Quran
a.
al-Khabar
1.
Pengertian dan Hakikat al-Khabar
Al-Khabar
(berita) oleh ahli balagah didefinisikan sebagai berikut:
Al-Khabar
(berita) ialah pernyataan yang mengandung kemungkinan benar dan salah pada
materi berita itu sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas, jelas bahwa yang
menjadi fokus perhatian dalam hal ini adalah inti atau isi berita
itu sendiri, tanpa mempertimbangkan aspek lain dan tidak melihat siapa yang
membawa berita itu. Adapun jika informasi atau berita (khabar) dikaitkan
dengan pembawa berita, maka ada khabar yang mempunyai tingkat kebenaran
mutlak (wajibat al-shidq), seperti khabar yang bersumber dari
Allah dan Rasul-Nya, adapula yang mempunyai tingkat kebohongan mutlak (wajibat
al-kazib), seperti khabar yang bersumber dari orang-orang yang
mengaku sebagai Nabi (mutanabbi'). Jika kahabar-khabar ini hanya
dilihat dari aspek materi khabar itu sendiri, maka hanya ada satu dari
dua kemungkinan, apakah khabar itu benar atau dusta.[2]
Untuk menilai kebenaran (shidq) atau kebohongan
(kazib) sebuah berita, maka yang menjadi parameter adalah kesesuaian
atau ketidaksesuaian khabar itu dengan fakta atau indikator eksternal. Apabila
khabar mempunyai kesesuaian dengan indikator eksternal, maka khabar itu
disebut khabar shadiq. Sebaliknya,
jika tidak bersesuaian maka disebut khabar kazib.
المدلول الخارجي
|
الخبر
|
الصادق
|
الكاذب
|
2. Tujuan Jenis Penyampaian al-Khabar
Prinsip
dasar penyampaian sebuah al-khabar (berita) adalah untuk salah satu dari
kedua tujuan berikut:
- Fâidat
al-Khabar (فَائِدَةُ الخَبَر);
yaitu memberikan pengetahuan baru kepada komunikan tentang sesuatu yang
belum ia ketahui sebelumnya. Jadi isi berita yang disampaikan masih baru
dan belum pernah didengarkan sebelumnya oleh komunikan, sehingga dengan
informasi tersebut maka yang komunikan merasa mendapatkan pengetahuan
baru.
Contoh, firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
Terjemahnya:
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[3]
Dalam ayat tersebut di atas,
Allah swt. Mengabarkan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya
Alqur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam bulan itu pula
diwajibkan bagi umat Islam untuk berpuasa. Namun orang yang jatuh sakit pada bulan
Ramadhan atau sedang melakukan perjalanan (musafir), sehingga tidak dapat
berpuasa, maka diperbolehkan untuk mengganti puasanya pada bulan-bulan lain di
luar bulan Ramadhan.
Ayat di atas terkait dengan
hukum Islam, yang sudah tentu bagi umat Islam tidak mengetahui hukum tersebut
sebelum disampaikan oleh pembuat hukum itu sendiri, yakni Allah. swt. Oleh
sebab itu, status informasi tersebut adalah baru dan belum diketahui
sebelumnya. Jenis berita seperti ini
dikategorikan sebagai fâidat al-khabar.
- Lâzim
al-Fâidah (لاَزِمُ الفَائِدَة); yaitu komunikator ingin
memberikan isyarat kepada komunikan bahwa dia pun telah mengetahui apa
yang diketahui oleh komunikan. Misalnya, jika seorang rekan merahasikan
kelulusannya kepada anda, tetapi anda mengetahui informasi tersebut dari
orang lain. Kemudian pada suatu kesempatan anda menemuinya dan berkata:
أَنْتْ نَاجِحْتَ فِي الاِمْتِحَان
(anda lulus
dalam ujian)
Jenis informasi seperti ini tidak bertujuan untuk
memberikan informasi baru kepada komunikan, tapi hanya ingin agar komunikan
mengetahui bahwa pembawa berita pun telah mengetahui apa yang ia ketahui dan dirahasiakan.
3.
Uslub-uslub
Al-Qur’an dalam menyuruh
Al-Qur’an tidak hanya memakai semacam uslub saja dalam
menyuruh, melarang dan dalam member hak hamba memilih. Setelah diperiksa dengan
teliti, nyatalah bahwa uslub itu berbagai macam rupa.
Al-Qur’an dalam menuntut kita mengerjakan sesuatu
pekerjaan, memakai sepuluh macam uslub.
·
Menyuruh
dengan terang memakai kata suruhan, seperti firman Allah SWT ( Q.S. An-Nahl :
16. ayat 90 )
¨bÎ)
©!$#
ããBù't
ÉAôyèø9$$Î
Ç`»|¡ômM}$#ur
Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur
Ç`tã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur
ÄÓøöt7ø9$#ur
4
öNä3ÝàÏèt
öNà6¯=yès9
crã©.xs?
ÇÒÉÈ d
tbrßtGöku
ÇÊÏÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.[4]
·
Kedua,
menerangkan bahwa perbuatan itu difardlukan atas orang-orang yang dihadapkan
titah, seperti firman Allah SWT,
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î 4
ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În§
×pyJômuur 3
Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada
yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.[5]
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash
itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang
terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat
diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak
menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh
setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di
akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.
·
Ketiga, mengabarkan bahwa perbuatan itu
ditugaskan atas umum manusia, atau atas golongan yang tertentu, seperti
Firman-Nya.
ÏmÏù 7M»t#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B
zOÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzy
tb%x.
$YYÏB#uä 3 ¬!ur
n?tã
Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$#
Ïmøs9Î) WxÎ6y
4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
Artinya:
Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Ialah, tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
Yaitu:
orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta
sehat jasmani dan perjalananpun aman.[6]
·
Keempat, menyangkut suatu perbuatan yang
dituntut kepada orang yang dituntut pekerjaan itu dari padanya, seperti
Firman-Nya
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spsW»n=rO
&äÿrãè% 4 wur
@Ïts £`çlm; br&
z`ôJçFõ3t $tB
t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör&
bÎ)
£`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/
Îû
y7Ï9ºs
÷bÎ) (#ÿrß#ur&
$[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur
ã@÷WÏB Ï%©!$#
£`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/
4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur
îÍtã
îLìÅ3ym
ÇËËÑÈ
Artinya :
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
B. al-Insya’ (الإنشاء)
1. Pengertian
Dari sudut etimologi, insya’ mengandung
makna “mengadakan” dan menciptakan (الإِيْجَادُ وَالاِخْتِرَاع).[7]
Sedang menurut istilah ulama Balagah didefinisikan sebagai:
Kalimat yang tidak dapat diklaim benar atau dusta pada
esesnsi berita itu sendiri.
Definisi
di atas mengisyaratkan bahwa sebuah kalimat insya’ – tanpa melihat aspek luar
dari kalimat tersebut- tidak dapat dinilai benar atau salah. Muatan sebuah insya’
tidak dapat terwujud dalam bentuk konkrit sebelum diungkapkan.
2. Klasifikasi Insya’ dan Shigat-shigatnya
Insya’ diklasifikasikan menjadi dua
bentuk:
a. Insya’
Gair Thalabiy (الإنشاء غير طلبي)
Insya’ gair thalabiy tidak
banyak mendapat perhatian ulama balaghah, karena mereka memandang kategori
insya’ jenis ini tidak termasuk dalam lingkup kajian Ilmu Ma’ani. Alasannya,
karena sebagian besar shigat-nya pada prinsipnya merupakan khabar (kalimat
berita) yang dinukilkan menjadi insya’.
Insya’ ghair thalabiy oleh
ulama balagah didefinisikan sebagai:
Tidak mengandung makna “tuntutan” dan tidak terwujud
pada saat ada tuntutan.
Berdasarkan
pengertian di atas, insya’ gair thalabiy pada prinsipnya merupakan kalam
yang tidak dapat diwujudkan secara konkrit pada saat diucapkan.
Insya’
gair thalabi mempunyai beberapa shigat sebagai berikut:
- Shigat
akad (صِيَغُ العَقُوْد)
Akad
(kontrak) diungkapkan dengan berbagai ungkapan, baik dengan pola ismiyah,
fi’liyah atau yang menggantikan kedua pola kalimat tersebut, di antaranya:
1) Akad jual beli (صِيَغُ عُقُوْدِ البَيْعِ والشِّرَاء) yang sering diungkapkan dengan
ungkapan: بِعْتُ
(saya jual), اِشْتَرَيْتُ مِنْكَ (saya beli dari kamu), أَبِيْعُكَ (saya jual kepadamu), أَشْتَرِي مِنْكَ (saya beli dari kamu), بِعْنِي (juallah kepada saya), بِعْتُكَ (saya jual kepadamu), اِشْتَرِ مِنِّي (belilah dari saya), اِشْتَرَيْتُ مِنْكَ (saya beli dari kamu), dan
semacamnya.
2) Akad nikah (عَقْدُ الزَّوَاج), yang sering diungkapkan dengan: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي (saya nikahkan kamu dengan
putriku), قَبِلْتُ زَوَاجَهَا (saya terima nikahnya), أُزَوِّجُكَ ابْنَتِي (saya nikahkan kamu dengan
putriku), تَزَوَّجْتُهَا (saya terima nikahnya), زَوِّّجْنِي ابْنَتَكَ (nikahkanlah saya dengan putrimu), زَوَّجْتُكُمَا (saya menikahkan kalian berdua), dan semacamnya.
3) Akad baiat (عَقْدُ بَيْعَةٍ) yang biasa diungkapkan dengan: أُبَايِعُكَ عَلَى السَّمْعِ
والطَّاعَة atau بَايَعْتُكَ على السَّمْعِ والطَّاعَة (saya membai’ai kamu untuk
mendengar dan mentaati perintahmu).
4) Insya’ yang menunjukkan pernyataan memeluk Islam, yang
diungkapkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat diserta niat.
5) Insya’ yang menunjukkan pernyataan memulai salat, ibadah
haji dan umrah. Akad memasuki salat adalah niat yang diikuti dengan takbiratul
ihram. Takbiratul ihram merupakan pengganti dari ungkapan: “saya menyatakan memulai
dan melaksanakan salat”. Sedangkan akad
memasuki ibadah haji dilakukan dengan menyatakan niat disertai talbiyah.
Ungkapan: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ menggantikan ungkapan “saya menyatakan masuk dalam ibadah haji
atau umrah dan melaksanakannya”, disertai dengan niat dalam hati.
Sebuah akad dapat
dibatalkan dengan berbagai ungkapan, misalnya: فَسَخْتُ البَيْع (saya membatalkan jual
beli), خَلَعْتُ البَيْعَة (saya mencabut bai’at), طَلَّقْتُكَ atau أَنْتِ طَالِق (saya talak kamu), أَعْتَقْتُكَ (saya memerdekakan kamu).
- Pujian (المَدْحُ ) dan celaan (الذّمُّ)
Pujian (المَدْحُ ) diungkapkan dengan shigat:
نِعْمَ
Contoh:
وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الأَرْضَ نَتَبَوَّأُ
مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Dan
mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya
kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami
(diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami
kehendaki." Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang
beramal. (QS. Az-Zumar (39): 74)
Sedangkan celaan (الذّمُّ) diungkapkan dengan shigat: بِئْسَ
Contoh:
وَقُلْ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ
نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ
كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقاً (29)
Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat
yang paling jelek. (QS.
al-Kahfi (18): 29)
b. Insya’ Thalabiy (إِنْشَاءُ الطَّلَبِي)
Insya’ thalabiy oleh ulama
balagah didefinisikan sebagai:
Ungkapan
yang mengandung makna “tuntutan” yang menurut keyakinan komunikator
(mutakallim) belum terwujud pada saat terjadi tuntutan.
Kategori
insya’ ini menjadi perhatian pengkajian ulama balagah, karena mengandung
keunikan-keunikan makna.
Adapun shigat
insya’ thalabiy, sebagai berkut:
1) Bentuk
perintah (الأمْر)
Selain ilmu balagah, masalah al-amr
(bentuk perintah) menjadi kajian berbagai disiplin ilmu, karena shigat
ini mengandung konsekuensi yang sangat luas. Ulama balagah mendefisinikan al-amr
dengan berbagai pengertian. Abdurrahman Hasan Habnakah misalnya mendefinisikannya
sebagai:
طَلَبُ تَحْقِيْقُ شَيْئٍ مَا، مَادِّيٍّ أَوْ
مَعْنَوِيٍّ
Menuntut
perwujudan sesuatu, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak
Pengertian
yang dikemukakan Habnakah di atas sangat bersifat umum, mencakup semua bentuk thalab
(permintaan). Ahmad Musthafa al-Maragi dan Ahmad al-Hasyimi dan ulama lain
mengemukakan definisi dengan melihat dari sisi sumber perintah tersebut. Dalam
hal ini, keduanya mengemukakan pengertian yang lebih tegas dan batasan yang
sangat jelas, sebagai berikut:
طَلَبُ حُصُوْلِ الفِعْلِ مِنَ المُخَاطَبِ
عَلَى وَجْهِ الاِسْتِعْلاَء
Menuntut
terjadinya suatu pekerjaan dari pihak komunikator dengan pola top down.[11]
Yang
dimaksud dengan pola top down adalah bahwa sebuah perintah berasal dari
pihak yang statusnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas al-Maturidiyah,
Imam al-Raziy, al-Amidiy dari kalangan Asy’ariyah, dan Abu al-Hasan dari
kalangan Mu’tazilah. Meskipun demikian, oleh sebagian ulama tidak menjadikan
syarat sebuah perintah mempunyai pola top down, misalnya al-Asy’ari dan
mayoritas penganut Syafi’iyyah.[12]
2)
Bentuk larangan (النهي)
Selain
shigat al-amr (bentuk perintah) yang menjadi kajian berbagai
disiplin ilmu, shigat al-nahyi juga mengambil porsi yang cukup besar
dalam kajian para pakar. Ulama balagah mendefisinikan al-nahyi dengan
berbagai pengertian. Abdurrahman Hasan Habnakah misalnya mendefinisikannya
sebagai:
Menuntut
agar tidak mewujudkan sesuatu, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak.
Pengertian
yang dikemukakan Habnakah di atas sangat bersifat umum, mencakup semua bentuk
larangan. Ahmad Musthafa al-Maragi dan Ahmad al-Hasyimi serta ulama lainnya
mengemukakan definisi dengan melihat dari sisi sumber perintah tersebut. Dalam
hal ini, mereka mengemukakan pengertian yang lebih tegas dan batasan yang
sangat jelas, sebagai berikut:
Menuntut agar tidak mewujudkan suatu pekerjaan dengan
pola top-down (dari atas ke bawah) disertai
isyarat keharusan.
Yang dimaksud dengan pola top
down adalah bahwa sebuah perintah berasal dari pihak yang statusnya lebih
tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama.[15]
Adapun shigat al-nahyi
adalah fi’il mudhari yang didahului oleh Lâ Nâhiyah (لا الناهية).
Contoh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنْ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا
تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
Artinya :
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hujurat (49): 12)
Konsep dasar makna yang terkandung dalam shigat
al-nahyi adalah keharusan untuk menghindari perwujudan sesuatu. Ia
merupakan bentuk yang berlawanan dengan shigat al-amr.
C. Makna-makna Menyimpang dari Istifhâm
Sesuai
dengan konsep dasarnya, istifhâm digunakan untuk menanyakan
sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, atau meminta penegasan salah satu dari
dua hal yang masih samara-samar.
Dalam banyak kasus, dengan
pertimbangan balagah, penggunaan istifhâm
menyimpang dari konsep dasarnya kepada makna-makna lain. Makna-makna tersebut
dapat diketahui melalui indikator-indikator, baik yang sifatnya internal
(indikator teks) maupun eksternal (kondisi yang menyertai sebuah istifhâm).
Adapun makna-makna istifhâm
yang menyimpang dari makna dasarnya antara lain:
1.
الإِنْكَار
(pengingkaran)
Penggunaan istifhâm
dengan makna الإِنْكَار (pengingkaran) disebut dengan istifhâm inkârî.
Hal ini digunakan untuk mengisyaratkan pengingkaran terhadap sebuah fenomena
atau perbuatan yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi atau dilakukan.
Adapaun ciri khas istifhâm inkârî antara
lain:
a.
Struktur istifhâm untuk makna al-inkâr sering
disertai dengan adât istitsnâ (pengecualian).
Contoh:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا
الْعَزْمِ مِنْ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ
مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاغٌ فَهَلْ
يُهْلَكُ إِلاَّ الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ (35)
Maka
bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa)
seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah)
suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. al-Ahqaf (46): 35)
b. Sering disertai dengan kalimat
yang mengisyaratkan “pendustaan” terhadap sesuatu.
Contoh:
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِالنُّذُرِ (23)
فَقَالُوا أَبَشَراً مِنَّا وَاحِداً نَتَّبِعُهُ إِنَّا إِذاً لَفِي ضَلالٍ
وَسُعُرٍ (24)
Maka mereka
berkata: "Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di
antara kita? Sesungguhnya kalau kita begitu benar-benar berada dalam keadaan sesat
dan gila". (QS. al-Qamar (54): 24)
2.
التَّوْبِيْخ (menjelek-jelekkan)
istifhâm at-taubikhî sering
digunakan untuk menjelek-jelekkan seseorang karena melakukan sebuah perbuatan
yang tidak baik, atau karena meninggalkan sebuah perbuatan yang selayaknya
dilakukan menurut pandangan komunikator.
Contoh:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ (95)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ (96)
Ibrahim
berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS. al-Shaffat (37): 95-96)
3. التَّقْرِيْر(pengakuan)
istifhâm taqrîrî adalah
pertanyaan yang bertujuan untuk membawa komunikan mengakui sesuatu yang ia
sudah ketahui atau dapat ia ketahui melalui indikator-indikator lain, baik
dalam bentuk kalimat negatif ataupun positif.
Misalnya, jika ada seseorang yang
mengaku bahwa anda pernah mengambil uangnya padahal anda tidak pernah
mengambilnya, lalu anda mengatakan: “Kapan saya ambil uangmu? Apa saya pernah
menemuimu? dan semacamnya. Hal ini anda ucapkan agar dia mencabut pernyataannya
dan mengakui bahwa anda tidak pernah mengambil uangnya.
Contoh:
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ
مَهِينٍ (20)
Bukankah Kami menciptakan kamu dari
air yang hina? (QS. al-Mursalat (77): 20)
4. التَّعَجُّب (menyatakan keheranan)
istifhâm ta’ajjubî ialah
pertanyaan yang lahir dari orang yang betul-betul heran, atau bermaksud
membangkitkan rasa kekaguman dan keheranan komunikan. Bentuk istifhâm
seperti ini banyak dijumpai dalam Alqur’an yang diatributkan kepada Allah. Pada
prinsipnya, Allah mengetahui segala sesuatu, sehingga pertanyaan Allah
adakalanya hanya bertujuan untuk mengembalikan perasaan heran tersebut kepada
komunikan.
Contoh:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ
أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ (28)
Mengapa kamu
kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu,
kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah
kamu dikembalikan? (QS. al-Baqarah (2): 28)
5.
العِتَابُ (teguran/sindiran)
Al-‘itâb adalah cara paling
ringan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap sebuah prilaku. Bentuk istifhâm
seperti ini digunakan untuk menegur yang bersangkutan dengan cara yang
halus.
Contoh:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا
كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ الأَمَدُ فَقَسَتْ
قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. al-hadid (57): 16)
6. التَّذْكِيْرُ (mengingatkan)
Adakalanya istifhâm digunakan
untuk mengingatkan seseorang tentang suatu ucapan, perbuatan atau peristiwa
yang sedang berlangsung.
Contoh:
قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلْتُمْ
بِيُوسُفَ وَأَخِيهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُونَ (89)
Yusuf
berkata: "Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan
terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu
itu?".
(QS. Yusuf (12): 89)
7. التَّفْخِيْمُ والتَّعْظِيْمُ (menganggap sesuatu itu besar atau
luar biasa)
Ketika menyaksikan sesuatu yang
besar atau luar biasa, seseorang sering terdorong untuk mengungkapkankannya
secara verbal. Hal seperti adakalanya diungkapkan dengan uslub ta’ajjub
dan adakalanya dengan uslub istifhâm. Jika menyaksikan sebuah bangunan
megah dan unik misalnya, seseorang kadang berkata: bangunan apa ini?, bagaimana
gedung ini dibangun?, siapa yang membangun gedung ini? dan sebagainya, dengan
ungkapan bernada pertanyaan.
Contoh:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ
مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا
يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا
حَاضِراً وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً
Dan
diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan
terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai
celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak
(pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang
telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua
pun". (QS. al-Kahfi (18): 49)
8. الإِفْخَار (menyatakan kebanggaan)
Istifhâm adakalanya digunakan
untuk menampakkan kebanggaan atau membanggakan diri atau sesuatu.
Contoh:
وَنَادَى فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا
قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي
أَفَلا تُبْصِرُونَ (51)
Dan Firaun
berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan
Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku;
maka apakah kamu tidak melihat (nya)? (QS. az-Zukhruf (43): 51)
9. التَّهْوِيْلُ والتَّخْوِيْف (membesar-besarkan dan
menakut-nakuti)
Apabila sesuatu yang dianggap besar
atau luar biasa itu menakutkan, maka untuk membesar-besarkannya bisa dengan
jalan menggunakan istifhâm.
Contoh:
الْحَاقَّةُ (1) مَا الْحَاقَّةُ (2) وَمَا
أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ (3)
Hari
kiamat, [69.2] apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
(QS. al-Haqqah (69): 1-3)
10. التَّسْهِيْلُ والتَّخْفِيْفُ (memandang mudah/ringan sesuatu)
Adakalanya seseorang mengungkapkan
sesuatu yang dianggapnya mudah dan enteng dilakukan dengan uslub istifhâm.
Makna ini dapat dipahami melalui indikator yang menyertainya. Misalnya, jika
seorang orator yang populer dengan kemampuannya berbicara di depan umum,
kemudian dikatakan: dapatkah anda berbicara dalam pesta ini?. Kemudian yang bersangkutan menjawab dengan uslub istifhâm,
misalnya dengan mengatakan: apa susahnya bicara dalam acara seperti ini?.
Contoh:
وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمْ اللَّهُ وَكَانَ
اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً (39)
Apakah
kemudaratannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian
dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (QS. an-Nisa (4): 39)
11. التَّهْدِيْد والوَعيْد (ancaman)
Adakalanya ancaman disampaikan
dengan menggunakan uslub istifhâm.
Contoh:
هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ أَنْ
تَأْتِيَهُمْ الْمَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ
رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ
تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلْ
انتَظِرُوا إِنَّا مُنتَظِرُونَ (158)
Yang mereka
nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk
mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian
tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah
bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum
itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah:
"Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula)." (QS. al-An’am (6): 158)
12. التَّكْثِيْر (mengisyaratkan banyaknya sesuatu)
Sering terjadi, uslub istifhâm
diungkapkan dengan maksud memberikan kesan bahwa apa yang ditanyakan itu
banyak. Pada galibnya, adat istifhâm yang sering digunakan untuk makna
ini adalah كَمْ. Struktur pertanyaan seperti ini keluar dari kategori كَمْ istifhâmiyah
menjadi كَمْ khabariyah.
Contoh:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي
وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلاَّ مَنْ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ
فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ
آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ
غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249)
Maka tatkala
Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan
menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya,
bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk
seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya
kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang
yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah
minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut
dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah
berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang
sabar." (QS. al-Baqarah (2): 249)
13.
التَّسْوِيَة (menyamakan dua hal yang berbeda)
Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ
عَلَيْهِمْ ءأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ (6)
Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (QS. al-Baqarah (2): 6)
14. الأَمْرُ (perintah)
Seringkali seseorang menggunakan istifhâm
untuk tujuan memberikan perintah secara halus kepada komunikan. Misalnya, jika
seseorang menyuguhkan makanan kepada orang lain, kemudian berkata: apakah anda
mau makan?, atau apakah anda tidak mau makan?.
Contoh:
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِي
لِلَّهِ وَمَنْ اتَّبَعَنِي وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأُمِّيِّينَ
أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدْ اهْتَدَوا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا
عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (20)
Kemudian
jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab
dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?"
Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah).
Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali ‘Imran (3): 20)
15. التَّنْبيه (peringatan)
At-tanbîh pada dasarnya merupakan bagian dari perintah (al-amr).
Contoh:
أَلَمْ تَرَى إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ
مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِناً ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ
عَلَيْهِ دَلِيلاً (45)
Apakah kamu
tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan
memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan
tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas
bayang-bayang itu. (QS. al-Furqan (25): 45)
16.
التَّرْغِيْب (motivasi)
At-targhîb pada dasarnya
merupakan sebuah struktur kalimat yang mengandung makna perintah (al-amr).
Sebagaimana istifham dapat digunakan untuk tujuan al-amr, juga dapat
digunakan untuk tujuan at-targhîb.
Contoh:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ
قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ (11)
Siapakah
yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh
pahala yang banyak. (QS. al-Hadid (57): 11)
17.
النَّهْي (larangan)
Penggunaan istifhâm untuk
tujuan perintah, sama kasusnya dalam penggunaannya untuk tujuan larangan,
karena memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya.
Contoh:
أَلا تُقَاتِلُونَ قَوْماً نَكَثُوا
أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ
مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنتُمْ
مُؤْمِنِينَ (13)
Mengapakah
kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka
telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali
memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah
yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. at-Taubah (9): 13)
18. الدُّعَاء (doa)
Penggunaan
istifham untuk tujuan doa, sama kasusnya dengan penggunaannya untuk perintah
dan larangan. Doa diungkapkan
dengan menggunakan sighat al-amr dan al-nahyi. Doa
pada lazimnya dilakukan dengan pola bottom up (dari bawah ke atas), dan
tidak dilakukan kecuali kepada Allah swt.
Contoh:
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ
رَجُلاً لِمِيقَاتِنَا فَلَمَّا أَخَذَتْهُمْ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ
أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ
مِنَّا إِنْ هِيَ إِلاَّ فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ
تَشَاءُ أَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ
الْغَافِرِينَ (155)
Dan Musa
memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami)
pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi,
Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau
membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena
perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari
Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan
Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang
memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah
Pemberi ampun yang sebaik-baiknya".
(QS.
al-A’raf (7): 155)
19. اِسْتِرْشَاد (memberikan saran atau petunjuk)
Terkadang
seseorang melontarkan pertanyaan yang mengisyaratkan bahwa dia tidak setuju
dengan sebuah tindakan atau keputusan, dengan tujuan untuk memberikan pandangan
atau memprotes tindakan atau keputusan tersebut. Contoh yang dapat dikemukakan
dalam hal ini adalah pertanyaan Musa kepada Khaidir yang memprotes tindakan Khaidir.
Kisah ini diabadikan Allah dalam Alqur’an sebagai berikut:
فَانطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي
السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ
شَيْئاً إِمْراً (71)
Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melobanginya. Musa berkata:
"Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan
penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang
besar.
(QS. al-Kahfi (18): 71)
فَانطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلاماً
فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ
شَيْئاً نُكْراً (74)
Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (QS.
al-Kahfi (18): 74)
Nabi Musa mengajukan pertanyaan yang
mengisyaratkan ketidaksepakatannya dengan tindakan Khaidir, padahal kebersamaannya Musa dengan Khaidir diikat
oleh sebuah persyaratan bahwa Musa harus bersabar dengan segala sikap Khaidir
yang secara lahiriyah terkadang tampak bertentangan dengan akal sehat. Sebab
Khaidir mengetahui hakikat yang tidak dijangkau oleh pikiran Musa.
Pertanyaan yang bernada protes
seperti ini juga mempunyai kemiripan dengan pertanyaan malaikat kepada Tuhan
tentang keputusan Tuhan dalam menciptakan Adam as. Dalam hal ini Allah
berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا
تَعْلَمُونَ (30)
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS.
al-Baqarah (2): 30)
20.
التَّمَنِّي وَالتَّرَجِّي (angan-angan dan pengharapan)
Seseorang adakalanya berangan-angan
untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil atau sangat sulit diraih. Angan-angan seperti ini sering diungkapkan dengan
struktur kalimat pertanyaan.
Contoh:
وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ
عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (52) هَلْ يَنظُرُونَ
إِلاَّ تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ
قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ
فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ
خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ (53)
Dan
sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur'an) kepada mereka
yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. [7.53] Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran)
Al Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Qur'an itu,
berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah
datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi
syafa'at yang akan memberi syafaat bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan
(ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami
amalkan?" Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah
lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. (QS. al-A’raf (7): 52-53)
21. الاِسْتِبْطَاء (mengisyaratkan lambatnya suatu yang ditunggu-tunggu)
Contoh:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا
الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ
مَسَّتْهُمْ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ
اللَّهِ قَرِيبٌ (214)
Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. al-Baqarah (2): 214)
22. العَرَض (sindiran)
Kadang sebuah perintah, nasihat,
atau saran diungkapkan dalam bentuk pertanyaan yang bertujuan menyindir
komunikan. Shigat asli yang dipergunakan dalam hal ini adalah shigat
perintah atau larangan.
Contoh:
وَلا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ
وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ
يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22)
Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat
(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah,
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nur
(24): 22)
23. التَّحْضِيْض (motivasi)
Komunikator sering memberikan
motivasi kepada komunikan agar melakukan sebuah perintah atau meninggalkan
sebuah larangan. Untuk tujuan ini, motivasi tersebut sering diungkapkan dengan
struktur istifhâm, karena dianggap lebih menyentuh nurani komunikan.
Contoh:
أَلا تُقَاتِلُونَ قَوْماً نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ
وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنتُمْ مُؤْمِنِينَ
(13)
Mengapakah
kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka
telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali
memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah
yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS.
at-Taubah (9): 13)
24.
التَّجَاهُل (bersikap seolah-olah tidak tahu)
Adakalanya seseorang bersikap
seolah-olah tidak mengetahui masalah, padahal sesungguhnya ia tahu. Sikap seperti ini biasanya dilakukan untuk
tujuan tertentu. Untuk tujuan ini, biasa diungkapkan dengan bentuk pertanyaan.
Contoh:
قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا
إِنَّهُ لَمِنْ الظَّالِمِينَ (59)
قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ (60) قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ (61) قَالُوا
أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62)
Mereka
berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami,
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang lalim". Mereka berkata:
"Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang
bernama Ibrahim". Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia
dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan".
Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap
tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" (QS. al-Anbiya (21): 59-62)
25.
التَّحْقِيْرُ والإِسْتِهَانَةُ والإِسْتِهْزَاء (menghina, merendahkan, mengolok-olok)
Istifham adakalanya diungkapkan
untuk tujuan menghina, merendahkan, atau mengolok-olok komunikan.
Contoh:
وَإِذَا رَآكَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ
يَتَّخِذُونَكَ إِلاَّ هُزُواً أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ آلِهَتَكُمْ
وَهُمْ بِذِكْرِ الرَّحْمَنِ هُمْ كَافِرُونَ (36)
Dan apabila
orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi
olok-olok. (Mereka mengatakan): "Apakah ini orang yang mencela
tuhan-tuhanmu?", padahal mereka adalah orang-orang yang ingkar mengingat
Allah Yang Maha Pemurah. (QS. al-Anbiya
(21): 36)
26. الإِكْتِفَاء (mengesankan kelayakan)
Contoh:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ افْتَرَى عَلَى
اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ
مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ (68)
Dan siapakah
yang lebih lalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap
Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah
dalam neraka Jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir? (QS.
al-Ankabut (29): 68)
27.
الإِسْتِبْعَاد (mengesankan jauhnya kemungkinan sesuatu)
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ
بِدُخَانٍ مُبِينٍ (10) يَغْشَى النَّاسَ هَذَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (11) رَبَّنَا
اكْشِفْ عَنَّا الْعَذَابَ إِنَّا مُؤْمِنُونَ (12) أَنَّى لَهُمْ الذِّكْرَى وَقَدْ جَاءَهُمْ
رَسُولٌ مُبِينٌ (13) ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ (14)
Maka
tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata, yang meliputi manusia.
Inilah azab yang pedih. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, lenyapkanlah dari
kami azab itu. Sesungguhnya kami akan beriman." Bagaimanakah mereka dapat menerima
peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi
penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah
seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila. (QS.
ad-Dukhan (44): 10-14)
28.
الإِيْنَاس (menghibur)
Contoh:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (17)
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ
فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18)
Apakah itu
yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku
bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang lain padanya". (QS. Thaha (20): 18)
29.
السُّخْرِية (mengejek)
Contoh:
قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلاتُكَ تَأْمُرُكَ
أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا
نَشَاءُ إِنَّكَ لأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ (87)
Mereka
berkata: "Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami
memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah
orang yang sangat penyantun lagi berakal." (QS. Hud
(11): 87)
30.
الإِخْبَار (memberitahukan)
Contoh:
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمْ الْحَقُّ يَأْتُوا
إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمْ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ (50)
Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah
dan rasul, dan kami menaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka
berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang
beriman. (QS. An-Nur (24): 47-50)
31. التَّأْكِيد (menegaskan)
أَفَمَنْ حَقَّ عَلَيْهِ كَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنْتَ تُنقِذُ
مَنْ فِي النَّارِ (19)
Apakah (kamu
hendak mengubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api
neraka? (QS. az-Zumar (39): 19)
Makna-makna
istifhâm yang dikemukakan di atas bukan bermaksud membatasi pada
poin-poin tersebut, tapi hanya merupakan contoh variasi makna yang terkandung
di balik shigat istifham, sekaligus menujukkan nilai-nilai balagha dalam
struktur istifhâm. Sejumlah makna lain dapat dikembangkan oleh pembaca,
selama ada indikator yang mendukung makna-makna tersebut.
[1]Ahmad Musthafa al-Maragiy, 'Ulum al-Balagah;
al-Bayan, al-Ma'aniy, al-Badi', (td.), h. 43.
[2]Ibrahim al-Nadzdzam dan pendukungnya berpendapat bahwa
dikatakan khabar shadiq apabila khabar
tersebut sesuai dengan keyakinan al-mukhbir (pembawa berita), meskipun
tidak sesuai dengan kenyataan, dan sebaliknya khabar kadzib apabila
berita itu tidak sesuai dengan keyakinan pembawa berita. Oleh sebab itu
menurutnya, jika seseorang meyakini sesuatu dan memberitkan/mempublikasikannya,
kemudian terbukti bahwa informasi yang disampaikan tidak bersesuaian dengan
fakta luar, maka orang tersebut tidak diklaim berbohong tetapi hanya dinilai
keliru dalam pernyataannya. Lihat selengkapnya dalam ibid., h. 44.
[3]
Al-Quran Terjemahan Departemen Agama ( Jakarta:1999 ), h. 45
[4] Ibid,
h. 415
[5] Ibid,
h.43
[7]Ahmad
Mushthafa al-Maraghi, ‘Ulum al-Balagah; al-Bayan, al-Ma’ani, al-Badi’, (td.),
h. 61.
[8]Ahmad
al-Hasyimiy, Jawahir al-Balagah; Fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, (Cet.
XII; Indonesia: Maktabat Dar Ihya
al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960), h. 75.
[10]Abdurrahman
Hasan Habnakah al-Maidaniy, al-Balagat al-‘Arabiyah; Ususuha wa ‘Ulumuha wa
Fununuha, juz I, (Cet. I; Dimasyq: Dar al-Qalam, 1996), h. 228.
[12]Lihat Ahmad al-Hasyimiy, loc.cit.
[13]Abdurrahman
Hasan Habnakah al-Maidaniy, op.cit., h. 228.
[14]al-Hasyimiy,
op.cit., h. 88.
[15]Lihat Ahmad al-Hasyimiy, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar