Kamis, 11 Oktober 2012

Makalah Ulumul Quran Bab II


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Uslub Al-Qur’an
Kata uslub adalah bahasa Arab yang apabila diterjemahkan artinya  jalan, cara, sistem atau metode. Adapun pengertiannya uslub dalam bahasa Arab, ialah makna yang terdapat dalam suatu bentuk susunan lafaz-lafaz kalimat dalam             Al-Qur’an. Uslub Al-Qur’an merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab             Uslub Al-Qur’an dianggap sebagai penuntun Al-Qur’an yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita.
Uslub Al-Qur’an mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology Uslub Al-Qur’an terkait dengan epistemologinya, epistemology Uslub Al-Qur’an terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistimologi                Uslub Al-Qur’an, maka kita harus mengaitkannya dengan ontology, dan aksiologi. Tetapi dalam tulisan ini, penulis hanya membahas tentang  Uslub Al-Qur’an dalam perspektif balagatul Qur’an.

B.      Uslub Al-Qur’an Dalam Perspektik Balagatul Quran
a.      al-Khabar
1.      Pengertian dan Hakikat al-Khabar
Al-Khabar (berita) oleh ahli balagah didefinisikan sebagai berikut:
الخَبَرُ هُوَ مَا احْتَمَلَ الصِّدْقَ واْلكَذِبَ لِذَاتِه[1]
Al-Khabar (berita) ialah pernyataan yang mengandung kemungkinan benar dan salah pada materi berita itu sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas, jelas bahwa yang menjadi fokus perhatian dalam hal ini adalah inti atau isi berita itu sendiri, tanpa mempertimbangkan aspek lain dan tidak melihat siapa yang membawa berita itu. Adapun jika informasi atau berita (khabar) dikaitkan dengan pembawa berita, maka ada khabar yang mempunyai tingkat kebenaran mutlak (wajibat al-shidq), seperti khabar yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, adapula yang mempunyai tingkat kebohongan mutlak (wajibat al-kazib), seperti khabar yang bersumber dari orang-orang yang mengaku sebagai Nabi (mutanabbi'). Jika kahabar-khabar ini hanya dilihat dari aspek materi khabar itu sendiri, maka hanya ada satu dari dua kemungkinan, apakah khabar itu benar atau dusta.[2]
Untuk menilai kebenaran (shidq) atau kebohongan (kazib) sebuah berita, maka yang menjadi parameter adalah kesesuaian atau ketidaksesuaian khabar itu dengan fakta atau indikator eksternal. Apabila khabar mempunyai kesesuaian dengan indikator eksternal, maka khabar itu disebut khabar shadiq.  Sebaliknya, jika tidak bersesuaian maka disebut khabar kazib.
المدلول الخارجي
الخبر
الصادق
الكاذب
Berdasarkan penjelasan di atas, maka al-khabar al-shadiq dan al-khabar al-kadzib ditentukan oleh unsur luar berupa fakta yang membenarkan atau menolak kebenaran sebuah al-khabar, sebagaimana digambarkan pada bagan berikut:





2.      Tujuan Jenis Penyampaian al-Khabar
Prinsip dasar penyampaian sebuah al-khabar (berita) adalah untuk salah satu dari kedua tujuan berikut:
  1. Fâidat al-Khabar (فَائِدَةُ الخَبَر); yaitu memberikan pengetahuan baru kepada komunikan tentang sesuatu yang belum ia ketahui sebelumnya. Jadi isi berita yang disampaikan masih baru dan belum pernah didengarkan sebelumnya oleh komunikan, sehingga dengan informasi tersebut maka yang komunikan merasa mendapatkan pengetahuan baru.
Contoh, firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
            Terjemahnya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.[3]
Dalam ayat tersebut di atas, Allah swt. Mengabarkan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Alqur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam bulan itu pula diwajibkan bagi umat Islam untuk berpuasa. Namun orang yang jatuh sakit pada bulan Ramadhan atau sedang melakukan perjalanan (musafir), sehingga tidak dapat berpuasa, maka diperbolehkan untuk mengganti puasanya pada bulan-bulan lain di luar bulan Ramadhan.
Ayat di atas terkait dengan hukum Islam, yang sudah tentu bagi umat Islam tidak mengetahui hukum tersebut sebelum disampaikan oleh pembuat hukum itu sendiri, yakni Allah. swt. Oleh sebab itu, status informasi tersebut adalah baru dan belum diketahui sebelumnya.  Jenis berita seperti ini dikategorikan sebagai fâidat al-khabar.
  1. Lâzim al-Fâidah (لاَزِمُ الفَائِدَة); yaitu komunikator ingin memberikan isyarat kepada komunikan bahwa dia pun telah mengetahui apa yang diketahui oleh komunikan. Misalnya, jika seorang rekan merahasikan kelulusannya kepada anda, tetapi anda mengetahui informasi tersebut dari orang lain. Kemudian pada suatu kesempatan anda menemuinya dan berkata:
أَنْتْ نَاجِحْتَ فِي الاِمْتِحَان  (anda lulus dalam ujian)
Jenis informasi seperti ini tidak bertujuan untuk memberikan informasi baru kepada komunikan, tapi hanya ingin agar komunikan mengetahui bahwa pembawa berita pun telah mengetahui apa yang ia ketahui dan dirahasiakan.
3.      Uslub-uslub Al-Qur’an dalam menyuruh
Al-Qur’an tidak hanya memakai semacam uslub saja dalam menyuruh, melarang dan dalam member hak hamba memilih. Setelah diperiksa dengan teliti, nyatalah bahwa uslub itu berbagai macam rupa.
Al-Qur’an dalam menuntut kita mengerjakan sesuatu pekerjaan, memakai sepuluh macam uslub.
·         Menyuruh dengan terang memakai kata suruhan, seperti firman Allah SWT ( Q.S. An-Nahl : 16. ayat 90 )
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4
öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ   d tbrßtGöku ÇÊÏÈ  
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[4]

·         Kedua, menerangkan bahwa perbuatan itu difardlukan atas orang-orang yang dihadapkan titah, seperti firman Allah SWT,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î 4
 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În§
×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ  
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.[5]

Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.

·   Ketiga, mengabarkan bahwa perbuatan itu ditugaskan atas umum manusia, atau atas golongan yang tertentu, seperti Firman-Nya.
ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ  
Artinya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Ialah, tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
Yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.[6]



·  Keempat, menyangkut suatu perbuatan yang dituntut kepada orang yang dituntut pekerjaan itu dari padanya, seperti Firman-Nya
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
Artinya :
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
B. al-Insya’ (الإنشاء)
    1. Pengertian
            Dari sudut etimologi, insya’ mengandung makna “mengadakan” dan menciptakan (الإِيْجَادُ وَالاِخْتِرَاع).[7] Sedang menurut istilah ulama Balagah didefinisikan sebagai:
كَلاَمٌ لاَ يَحْتَمِلُ صِدْقًا وَلاَ كَذِبًا لِذَاتِهِ[8]
            Kalimat yang tidak dapat diklaim benar atau dusta pada esesnsi berita itu sendiri. 
            Definisi di atas mengisyaratkan bahwa sebuah kalimat insya’ – tanpa melihat aspek luar dari kalimat tersebut- tidak dapat dinilai benar atau salah. Muatan sebuah insya’ tidak dapat terwujud dalam bentuk konkrit sebelum diungkapkan.
  2. Klasifikasi Insya’ dan Shigat-shigatnya
            Insya’ diklasifikasikan menjadi dua bentuk:
      a. Insya’ Gair Thalabiy (الإنشاء غير طلبي)
            Insya’ gair thalabiy tidak banyak mendapat perhatian ulama balaghah, karena mereka memandang kategori insya’ jenis ini tidak termasuk dalam lingkup kajian Ilmu Ma’ani. Alasannya, karena sebagian besar shigat-nya pada prinsipnya merupakan khabar (kalimat berita) yang dinukilkan menjadi insya’.
            Insya’ ghair thalabiy oleh ulama balagah didefinisikan sebagai:
مَا لاَ يَسْتَدْعى مَطْلُوْبًا غَير حَاصِلٍ وَقْتَ الطَّلَب[9]
Tidak mengandung makna “tuntutan” dan tidak terwujud pada saat ada tuntutan.
            Berdasarkan pengertian di atas, insya’ gair thalabiy pada prinsipnya merupakan kalam yang tidak dapat diwujudkan secara konkrit pada saat diucapkan.
            Insya’ gair thalabi mempunyai beberapa shigat sebagai berikut:
  1. Shigat akad (صِيَغُ العَقُوْد)
Akad (kontrak) diungkapkan dengan berbagai ungkapan, baik dengan pola ismiyah, fi’liyah atau yang menggantikan kedua pola kalimat tersebut, di antaranya:
1)      Akad jual beli (صِيَغُ عُقُوْدِ البَيْعِ والشِّرَاء) yang sering diungkapkan dengan ungkapan: بِعْتُ (saya jual), اِشْتَرَيْتُ مِنْكَ (saya beli dari kamu), أَبِيْعُكَ (saya jual kepadamu), أَشْتَرِي مِنْكَ (saya beli dari kamu), بِعْنِي (juallah kepada saya), بِعْتُكَ (saya jual kepadamu), اِشْتَرِ مِنِّي (belilah dari saya), اِشْتَرَيْتُ مِنْكَ (saya beli dari kamu), dan semacamnya.
2)      Akad nikah (عَقْدُ الزَّوَاج), yang sering diungkapkan dengan: زَوَّجْتُكَ بِنْتِي (saya nikahkan kamu dengan putriku), قَبِلْتُ زَوَاجَهَا (saya terima nikahnya), أُزَوِّجُكَ ابْنَتِي (saya nikahkan kamu dengan putriku), تَزَوَّجْتُهَا (saya terima nikahnya), زَوِّّجْنِي ابْنَتَكَ (nikahkanlah saya dengan putrimu), زَوَّجْتُكُمَا (saya menikahkan kalian berdua), dan semacamnya.
3)      Akad baiat (عَقْدُ بَيْعَةٍ) yang biasa diungkapkan dengan: أُبَايِعُكَ عَلَى السَّمْعِ والطَّاعَة atau بَايَعْتُكَ على السَّمْعِ والطَّاعَة (saya membai’ai kamu untuk mendengar dan mentaati perintahmu).
4)      Insya’ yang menunjukkan pernyataan memeluk Islam, yang diungkapkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat diserta niat.
5)      Insya’ yang menunjukkan pernyataan memulai salat, ibadah haji dan umrah. Akad memasuki salat adalah niat yang diikuti dengan takbiratul ihram. Takbiratul ihram merupakan pengganti dari ungkapan: “saya menyatakan memulai dan melaksanakan salat”.  Sedangkan akad memasuki ibadah haji dilakukan dengan menyatakan niat disertai talbiyah. Ungkapan: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ menggantikan ungkapan “saya menyatakan masuk dalam ibadah haji atau umrah dan melaksanakannya”, disertai dengan niat dalam hati. 
 Sebuah akad dapat dibatalkan dengan berbagai ungkapan, misalnya: فَسَخْتُ البَيْع   (saya membatalkan jual beli), خَلَعْتُ البَيْعَة (saya mencabut bai’at), طَلَّقْتُكَ atau أَنْتِ طَالِق (saya talak kamu), أَعْتَقْتُكَ (saya memerdekakan kamu).
  1. Pujian  (المَدْحُ ) dan celaan (الذّمُّ)
Pujian (المَدْحُ )  diungkapkan dengan shigat: نِعْمَ
Contoh:
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki." Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.  (QS. Az-Zumar (39): 74)

            Sedangkan celaan (
الذّمُّ)  diungkapkan dengan shigat: بِئْسَ
Contoh:
وَقُلْ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَاراً أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقاً (29) 

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.  Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. al-Kahfi (18): 29)
      b. Insya’ Thalabiy (إِنْشَاءُ الطَّلَبِي)
            Insya’ thalabiy oleh ulama balagah didefinisikan sebagai:
مَا يَسْتَدْعى مَطْلُوْبًا غَير حَاصِلٍ فِي اعْتِقَادِ المُتَكَلِّمِ وَقْتَ الطَّلَب[10]
Ungkapan yang mengandung makna “tuntutan” yang menurut keyakinan komunikator (mutakallim) belum terwujud pada saat terjadi tuntutan.
Kategori insya’ ini menjadi perhatian pengkajian ulama balagah, karena mengandung keunikan-keunikan makna.
Adapun shigat insya’ thalabiy, sebagai berkut:
1) Bentuk perintah (الأمْر)
            Selain ilmu balagah, masalah al-amr (bentuk perintah) menjadi kajian berbagai disiplin ilmu, karena shigat ini mengandung konsekuensi yang sangat luas. Ulama balagah mendefisinikan al-amr dengan berbagai pengertian. Abdurrahman Hasan Habnakah misalnya mendefinisikannya sebagai:
طَلَبُ تَحْقِيْقُ شَيْئٍ مَا، مَادِّيٍّ أَوْ مَعْنَوِيٍّ
Menuntut perwujudan sesuatu, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak
Pengertian yang dikemukakan Habnakah di atas sangat bersifat umum, mencakup semua bentuk thalab (permintaan). Ahmad Musthafa al-Maragi dan Ahmad al-Hasyimi dan ulama lain mengemukakan definisi dengan melihat dari sisi sumber perintah tersebut. Dalam hal ini, keduanya mengemukakan pengertian yang lebih tegas dan batasan yang sangat jelas, sebagai berikut:
طَلَبُ حُصُوْلِ الفِعْلِ مِنَ المُخَاطَبِ عَلَى وَجْهِ الاِسْتِعْلاَء
Menuntut terjadinya suatu pekerjaan dari pihak komunikator dengan pola top down.[11]
            Yang dimaksud dengan pola top down adalah bahwa sebuah perintah berasal dari pihak yang statusnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas al-Maturidiyah, Imam al-Raziy, al-Amidiy dari kalangan Asy’ariyah, dan Abu al-Hasan dari kalangan Mu’tazilah. Meskipun demikian, oleh sebagian ulama tidak menjadikan syarat sebuah perintah mempunyai pola top down, misalnya al-Asy’ari dan mayoritas penganut Syafi’iyyah.[12]
2) Bentuk larangan (النهي)
            Selain shigat al-amr (bentuk perintah) yang menjadi kajian berbagai disiplin ilmu, shigat al-nahyi juga mengambil porsi yang cukup besar dalam kajian para pakar. Ulama balagah mendefisinikan al-nahyi dengan berbagai pengertian. Abdurrahman Hasan Habnakah misalnya mendefinisikannya sebagai:
طَلَبُ الكَفِّ عَنْ شَيْئٍ مَا، مَادِّيٍ أَوْ مَعْنَوِيٍّ [13]
Menuntut agar tidak mewujudkan sesuatu, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak.
Pengertian yang dikemukakan Habnakah di atas sangat bersifat umum, mencakup semua bentuk larangan. Ahmad Musthafa al-Maragi dan Ahmad          al-Hasyimi serta ulama lainnya mengemukakan definisi dengan melihat dari sisi sumber perintah tersebut. Dalam hal ini, mereka mengemukakan pengertian yang lebih tegas dan batasan yang sangat jelas, sebagai berikut:
طَلَبُ الكَفِّ عَنْ شَيْئٍ عَلَى وَجْهِ الاِسْتِعْلاَء مَعَ الإِلْزَامِ. [14]
Menuntut agar tidak mewujudkan suatu pekerjaan dengan pola top-down (dari atas ke bawah) disertai isyarat keharusan.
            Yang dimaksud dengan pola top down adalah bahwa sebuah perintah berasal dari pihak yang statusnya lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama.[15]
            Adapun shigat al-nahyi adalah fi’il mudhari yang didahului oleh Lâ Nâhiyah (لا الناهية).
Contoh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنْ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.  Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.  (QS. al-Hujurat (49): 12)
            Konsep dasar makna yang terkandung dalam shigat al-nahyi adalah keharusan untuk menghindari perwujudan sesuatu. Ia merupakan bentuk yang berlawanan dengan shigat al-amr.
C. Makna-makna Menyimpang dari Istifhâm
            Sesuai dengan konsep dasarnya, istifhâm digunakan untuk menanyakan sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, atau meminta penegasan salah satu dari dua hal yang masih samara-samar.
            Dalam banyak kasus, dengan pertimbangan balagah, penggunaan istifhâm menyimpang dari konsep dasarnya kepada makna-makna lain. Makna-makna tersebut dapat diketahui melalui indikator-indikator, baik yang sifatnya internal (indikator teks) maupun eksternal (kondisi yang menyertai sebuah istifhâm).
            Adapun makna-makna istifhâm yang menyimpang dari makna dasarnya antara lain:

1. الإِنْكَار (pengingkaran)
            Penggunaan istifhâm dengan makna الإِنْكَار (pengingkaran) disebut dengan istifhâm inkârî. Hal ini digunakan untuk mengisyaratkan pengingkaran terhadap sebuah fenomena atau perbuatan yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi atau dilakukan.
            Adapaun ciri khas istifhâm inkârî antara lain:
a. Struktur istifhâm untuk makna al-inkâr sering disertai dengan adât istitsnâ (pengecualian).
Contoh:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنْ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلاَّ الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ (35)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. al-Ahqaf (46): 35)
b. Sering disertai dengan kalimat yang mengisyaratkan “pendustaan” terhadap sesuatu.

Contoh:
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِالنُّذُرِ (23) فَقَالُوا أَبَشَراً مِنَّا وَاحِداً نَتَّبِعُهُ إِنَّا إِذاً لَفِي ضَلالٍ وَسُعُرٍ (24)
Maka mereka berkata: "Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau kita begitu benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila". (QS. al-Qamar (54): 24)
2. التَّوْبِيْخ (menjelek-jelekkan)
            istifhâm at-taubikhî sering digunakan untuk menjelek-jelekkan seseorang karena melakukan sebuah perbuatan yang tidak baik, atau karena meninggalkan sebuah perbuatan yang selayaknya dilakukan menurut pandangan komunikator.
Contoh:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ (95) وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ (96)
Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".  (QS. al-Shaffat (37): 95-96)
3.  التَّقْرِيْر(pengakuan)
            istifhâm taqrîrî adalah pertanyaan yang bertujuan untuk membawa komunikan mengakui sesuatu yang ia sudah ketahui atau dapat ia ketahui melalui indikator-indikator lain, baik dalam bentuk kalimat negatif ataupun positif.
            Misalnya, jika ada seseorang yang mengaku bahwa anda pernah mengambil uangnya padahal anda tidak pernah mengambilnya, lalu anda mengatakan: “Kapan saya ambil uangmu? Apa saya pernah menemuimu? dan semacamnya. Hal ini anda ucapkan agar dia mencabut pernyataannya dan mengakui bahwa anda tidak pernah mengambil uangnya.
Contoh:
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (20)
Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina? (QS. al-Mursalat (77): 20)
4. التَّعَجُّب (menyatakan keheranan)
            istifhâm ta’ajjubî ialah pertanyaan yang lahir dari orang yang betul-betul heran, atau bermaksud membangkitkan rasa kekaguman dan keheranan komunikan. Bentuk istifhâm seperti ini banyak dijumpai dalam Alqur’an yang diatributkan kepada Allah. Pada prinsipnya, Allah mengetahui segala sesuatu, sehingga pertanyaan Allah adakalanya hanya bertujuan untuk mengembalikan perasaan heran tersebut kepada komunikan.
Contoh:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28)
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (QS. al-Baqarah (2): 28)
5. العِتَابُ (teguran/sindiran)
            Al-‘itâb adalah cara paling ringan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap sebuah prilaku. Bentuk istifhâm seperti ini digunakan untuk menegur yang bersangkutan dengan cara yang halus.
Contoh:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنْ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمْ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.  (QS. al-hadid (57): 16)
6. التَّذْكِيْرُ (mengingatkan)
            Adakalanya istifhâm digunakan untuk mengingatkan seseorang tentang suatu ucapan, perbuatan atau peristiwa yang sedang berlangsung.
Contoh:
قَالَ هَلْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلْتُمْ بِيُوسُفَ وَأَخِيهِ إِذْ أَنْتُمْ جَاهِلُونَ (89)
Yusuf berkata: "Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu?". (QS. Yusuf (12): 89)
7. التَّفْخِيْمُ والتَّعْظِيْمُ (menganggap sesuatu itu besar atau luar biasa)
            Ketika menyaksikan sesuatu yang besar atau luar biasa, seseorang sering terdorong untuk mengungkapkankannya secara verbal. Hal seperti adakalanya diungkapkan dengan uslub ta’ajjub dan adakalanya dengan uslub istifhâm. Jika menyaksikan sebuah bangunan megah dan unik misalnya, seseorang kadang berkata: bangunan apa ini?, bagaimana gedung ini dibangun?, siapa yang membangun gedung ini? dan sebagainya, dengan ungkapan bernada pertanyaan.
Contoh:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلاَّ أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun".  (QS. al-Kahfi (18): 49)
8. الإِفْخَار (menyatakan kebanggaan)
            Istifhâm adakalanya digunakan untuk menampakkan kebanggaan atau membanggakan diri atau sesuatu.
Contoh:
وَنَادَى فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلا تُبْصِرُونَ (51) 
Dan Firaun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)? (QS. az-Zukhruf (43): 51)
9. التَّهْوِيْلُ والتَّخْوِيْف (membesar-besarkan dan menakut-nakuti)
            Apabila sesuatu yang dianggap besar atau luar biasa itu menakutkan, maka untuk membesar-besarkannya bisa dengan jalan menggunakan istifhâm.
Contoh:
الْحَاقَّةُ (1) مَا الْحَاقَّةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ (3)
Hari kiamat, [69.2] apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu? (QS. al-Haqqah (69): 1-3)
10. التَّسْهِيْلُ والتَّخْفِيْفُ (memandang mudah/ringan sesuatu)
            Adakalanya seseorang mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya mudah dan enteng dilakukan dengan uslub istifhâm. Makna ini dapat dipahami melalui indikator yang menyertainya. Misalnya, jika seorang orator yang populer dengan kemampuannya berbicara di depan umum, kemudian dikatakan: dapatkah anda berbicara dalam pesta ini?. Kemudian yang bersangkutan menjawab dengan uslub istifhâm, misalnya dengan mengatakan: apa susahnya bicara dalam acara seperti ini?.
Contoh:
وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمْ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً (39)
Apakah kemudaratannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (QS. an-Nisa (4): 39)
11. التَّهْدِيْد والوَعيْد (ancaman)
            Adakalanya ancaman disampaikan dengan menggunakan uslub istifhâm.
Contoh:
هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ أَنْ تَأْتِيَهُمْ الْمَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلْ انتَظِرُوا إِنَّا مُنتَظِرُونَ (158)
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula)."  (QS. al-An’am (6): 158)
12. التَّكْثِيْر (mengisyaratkan banyaknya sesuatu)
            Sering terjadi, uslub istifhâm diungkapkan dengan maksud memberikan kesan bahwa apa yang ditanyakan itu banyak. Pada galibnya, adat istifhâm yang sering digunakan untuk makna ini adalah  كَمْ. Struktur pertanyaan seperti ini keluar dari kategori كَمْ istifhâmiyah menjadi كَمْ khabariyah.
Contoh:
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلاَّ مَنْ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (249)
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."  (QS. al-Baqarah (2): 249)
13. التَّسْوِيَة (menyamakan dua hal yang berbeda)
Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ (6)
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (QS. al-Baqarah (2): 6)
14.  الأَمْرُ (perintah)
            Seringkali seseorang menggunakan istifhâm untuk tujuan memberikan perintah secara halus kepada komunikan. Misalnya, jika seseorang menyuguhkan makanan kepada orang lain, kemudian berkata: apakah anda mau makan?, atau apakah anda tidak mau makan?.
Contoh:
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِي لِلَّهِ وَمَنْ اتَّبَعَنِي وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدْ اهْتَدَوا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (20)
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali ‘Imran (3): 20)
15. التَّنْبيه (peringatan)
            At-tanbîh pada dasarnya merupakan bagian dari perintah (al-amr).
Contoh:
أَلَمْ تَرَى إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِناً ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلاً (45)
Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. (QS. al-Furqan (25): 45)
16. التَّرْغِيْب (motivasi)
            At-targhîb pada dasarnya merupakan sebuah struktur kalimat yang mengandung makna perintah (al-amr). Sebagaimana istifham dapat digunakan untuk tujuan al-amr, juga dapat digunakan untuk tujuan at-targhîb.
Contoh:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ (11)
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS. al-Hadid (57): 11)
17. النَّهْي (larangan)
            Penggunaan istifhâm untuk tujuan perintah, sama kasusnya dalam penggunaannya untuk tujuan larangan, karena memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya.
Contoh:
أَلا تُقَاتِلُونَ قَوْماً نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنتُمْ مُؤْمِنِينَ (13)  
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.  (QS. at-Taubah (9): 13)
18. الدُّعَاء (doa)
            Penggunaan istifham untuk tujuan doa, sama kasusnya dengan penggunaannya untuk perintah dan larangan. Doa diungkapkan dengan menggunakan sighat al-amr dan al-nahyi. Doa pada lazimnya dilakukan dengan pola bottom up (dari bawah ke atas), dan tidak dilakukan kecuali kepada Allah swt.
Contoh:
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلاً لِمِيقَاتِنَا فَلَمَّا أَخَذَتْهُمْ الرَّجْفَةُ قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا إِنْ هِيَ إِلاَّ فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ أَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ (155)
Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya".  (QS. al-A’raf (7): 155)
19. اِسْتِرْشَاد (memberikan saran atau petunjuk)
            Terkadang seseorang melontarkan pertanyaan yang mengisyaratkan bahwa dia tidak setuju dengan sebuah tindakan atau keputusan, dengan tujuan untuk memberikan pandangan atau memprotes tindakan atau keputusan tersebut. Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah pertanyaan Musa kepada Khaidir yang memprotes tindakan Khaidir. Kisah ini diabadikan Allah dalam Alqur’an sebagai berikut:
فَانطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئاً إِمْراً (71)
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya.  Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (QS. al-Kahfi (18): 71)

فَانطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلاماً فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئاً نُكْراً (74)
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?  Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (QS. al-Kahfi (18): 74)
            Nabi Musa mengajukan pertanyaan yang mengisyaratkan ketidaksepakatannya dengan tindakan Khaidir, padahal  kebersamaannya Musa dengan Khaidir diikat oleh sebuah persyaratan bahwa Musa harus bersabar dengan segala sikap Khaidir yang secara lahiriyah terkadang tampak bertentangan dengan akal sehat. Sebab Khaidir mengetahui hakikat yang tidak dijangkau oleh pikiran Musa.
            Pertanyaan yang bernada protes seperti ini juga mempunyai kemiripan dengan pertanyaan malaikat kepada Tuhan tentang keputusan Tuhan dalam menciptakan Adam as. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-Baqarah (2): 30)
20. التَّمَنِّي وَالتَّرَجِّي (angan-angan dan pengharapan)
            Seseorang adakalanya berangan-angan untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil atau sangat sulit diraih. Angan-angan seperti ini sering diungkapkan dengan struktur kalimat pertanyaan.
Contoh:
وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (52) هَلْ يَنظُرُونَ إِلاَّ تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ (53)
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur'an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. [7.53] Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafaat bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?" Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. (QS. al-A’raf (7): 52-53)
21. الاِسْتِبْطَاء (mengisyaratkan lambatnya suatu yang ditunggu-tunggu)
Contoh:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمْ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (214)
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. al-Baqarah (2): 214)
22. العَرَض (sindiran)
            Kadang sebuah perintah, nasihat, atau saran diungkapkan dalam bentuk pertanyaan yang bertujuan menyindir komunikan. Shigat asli yang dipergunakan dalam hal ini adalah shigat perintah atau larangan.
Contoh:
وَلا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُوْلِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22)
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nur (24): 22)
23. التَّحْضِيْض (motivasi)
            Komunikator sering memberikan motivasi kepada komunikan agar melakukan sebuah perintah atau meninggalkan sebuah larangan. Untuk tujuan ini, motivasi tersebut sering diungkapkan dengan struktur istifhâm, karena dianggap lebih menyentuh nurani komunikan.
Contoh:
أَلا تُقَاتِلُونَ قَوْماً نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنتُمْ مُؤْمِنِينَ (13)
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. at-Taubah (9): 13)



24. التَّجَاهُل (bersikap seolah-olah tidak tahu)
            Adakalanya seseorang bersikap seolah-olah tidak mengetahui masalah, padahal sesungguhnya ia tahu.  Sikap seperti ini biasanya dilakukan untuk tujuan tertentu. Untuk tujuan ini, biasa diungkapkan dengan bentuk pertanyaan.
Contoh:
قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنْ الظَّالِمِينَ (59)  قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ (60)  قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ (61)  قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62)
Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang lalim". Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim". Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan". Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" (QS. al-Anbiya (21): 59-62)
25. التَّحْقِيْرُ والإِسْتِهَانَةُ والإِسْتِهْزَاء (menghina, merendahkan, mengolok-olok)
            Istifham adakalanya diungkapkan untuk tujuan menghina, merendahkan, atau mengolok-olok komunikan.
Contoh:
وَإِذَا رَآكَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلاَّ هُزُواً أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ آلِهَتَكُمْ وَهُمْ بِذِكْرِ الرَّحْمَنِ هُمْ كَافِرُونَ (36)
Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): "Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?", padahal mereka adalah orang-orang yang ingkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.  (QS. al-Anbiya (21): 36)
26. الإِكْتِفَاء (mengesankan kelayakan)
Contoh:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ (68) 
Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir? (QS. al-Ankabut (29): 68)
27. الإِسْتِبْعَاد (mengesankan jauhnya kemungkinan sesuatu)
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ (10) يَغْشَى النَّاسَ هَذَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (11) رَبَّنَا اكْشِفْ عَنَّا الْعَذَابَ إِنَّا مُؤْمِنُونَ (12)  أَنَّى لَهُمْ الذِّكْرَى وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ (13) ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ (14)
Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, lenyapkanlah dari kami azab itu. Sesungguhnya kami akan beriman."  Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila. (QS. ad-Dukhan (44): 10-14)
28. الإِيْنَاس (menghibur)
Contoh:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18)   
Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". (QS. Thaha (20): 18)
29. السُّخْرِية (mengejek)
Contoh:
قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ (87)
Mereka berkata: "Hai Syuaib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." (QS. Hud (11): 87)
30. الإِخْبَار (memberitahukan)
Contoh:
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48)  وَإِنْ يَكُنْ لَهُمْ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49)  أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمْ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ (50)
Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur (24): 47-50)

31. التَّأْكِيد (menegaskan)
أَفَمَنْ حَقَّ عَلَيْهِ كَلِمَةُ الْعَذَابِ أَفَأَنْتَ تُنقِذُ مَنْ فِي النَّارِ (19)
Apakah (kamu hendak mengubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka? (QS. az-Zumar (39): 19)
            Makna-makna istifhâm yang dikemukakan di atas bukan bermaksud membatasi pada poin-poin tersebut, tapi hanya merupakan contoh variasi makna yang terkandung di balik shigat istifham, sekaligus menujukkan nilai-nilai balagha dalam struktur istifhâm. Sejumlah makna lain dapat dikembangkan oleh pembaca, selama ada indikator yang mendukung makna-makna tersebut.







[1]Ahmad Musthafa al-Maragiy, 'Ulum al-Balagah; al-Bayan, al-Ma'aniy, al-Badi', (td.), h. 43.
[2]Ibrahim al-Nadzdzam dan pendukungnya berpendapat bahwa dikatakan khabar shadiq  apabila khabar tersebut sesuai dengan keyakinan al-mukhbir (pembawa berita), meskipun tidak sesuai dengan kenyataan, dan sebaliknya khabar kadzib apabila berita itu tidak sesuai dengan keyakinan pembawa berita. Oleh sebab itu menurutnya, jika seseorang meyakini sesuatu dan memberitkan/mempublikasikannya, kemudian terbukti bahwa informasi yang disampaikan tidak bersesuaian dengan fakta luar, maka orang tersebut tidak diklaim berbohong tetapi hanya dinilai keliru dalam pernyataannya. Lihat selengkapnya dalam ibid., h. 44.
[3] Al-Quran Terjemahan Departemen Agama ( Jakarta:1999 ), h. 45
[4] Ibid, h. 415
[5] Ibid, h.43

[7]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, ‘Ulum al-Balagah; al-Bayan, al-Ma’ani, al-Badi’, (td.), h. 61.  
[8]Ahmad al-Hasyimiy, Jawahir al-Balagah; Fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’, (Cet. XII; Indonesia:  Maktabat Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1960), h. 75.
[9]Ibid.
[10]Abdurrahman Hasan Habnakah al-Maidaniy, al-Balagat al-‘Arabiyah; Ususuha wa ‘Ulumuha wa Fununuha, juz I, (Cet. I; Dimasyq: Dar al-Qalam, 1996), h. 228.
[11]Ibid., h. 228., bandingkan Ahmad al-Hasyimiy, op.cit., h.  77.
[12]Lihat  Ahmad al-Hasyimiy, loc.cit.
[13]Abdurrahman Hasan Habnakah al-Maidaniy, op.cit., h. 228.
[14]al-Hasyimiy, op.cit., h.  88.
[15]Lihat  Ahmad al-Hasyimiy, loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

jual beli liberty 

reserve, jual beli paypal
radio streaming shoutcast murah indonesia, jasa pembuatan radio 

streaming, cara membuat radio streaming